Krisis keuangan yang terjadi di
Amerika Serikat telah menyeret negara-negara lain. Dampaknya di Indonesia
memang tidak terlalu terasa karena kondisi keuangan Indonesia sangat stabil
pada saat dikelola oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Apa sebetulnya penyebab
terjadinya krisis tersebut? Berikut adalah ulasan yang disajikan dengan ringan
agar lebih mudah dipahami.
Tanda-tanda krisis keuangan
global sudah bisa diprediksi sejak sub
prime mortgage crisis di Amerika Serikat (AS) terjadi pada Agustus 2007.
Saat itu orang-orang tidak mengira bahwa krisis tersebut akan menjadi krisis
global seperti sekarang. Krisis tersebut dimulai dari:
Pertama, perbankan AS menyalurkan
kredit (pinjaman) kepada nasabah properti secara kurang hati-hati. Itulah yang
disebut sebagai sub prime mortgage.
Kondisi dimana bank tetap mengucurkan pinjaman kepada nasabah yang sebenarnya
kurang layak.
Kedua, tahun 2000 hingga 2004,
The Fed (Bank Sentral AS) menurunkan suku bunga menjadi 1 persen (merupakan
tingkat bunga terendah sepanjang sejarah AS). Bunga yang murah itu mendorong
warga AS ramai-ramai mengajukan kredit, termasuk kredit perumahan. Proses
pembangunan rumah memerlukan waktu yang tidak singkat, sedangkan permintaan
melonjak (orang Indonesia memang lebih hebat dalam hal bangunan, bahkan bisa
membangun 999 candi dalam 1 malam). Akibatnya sesuai hukum ekonomi, melonjaknya
permintaan terhadap perumahan membuat harga rumah di AS membubung tinggi.
Ketiga, 8 tahun terakhir,
perekonomian AS begantung pada konsumsi properti. Dalam periode itu, industri
AS kalah bersaing dengan China, sehingga banyak perusahaan AS gulung tikar dan
menurunkan upah riil. Penurunan upah riil itu otomatis menurunkan kemampuan
nasabah (umumnya para buruh) dalam membayar cicilan kredit. Tahun 2004 hingga
2007, The Fed menaikkan suku bunga secara fantastis dari 1% menjadi 5,2%.
Akibatnya, pendapatan buruh semakin rendah namun cicilan kredit membengkak.
Saat itu, banyak rumah yang akhirnya disita dan dijual oleh perbankan. Pada
Agustus 2007 tercatat ada sekitar satu setengah juta rumah yang disita dan siap
dijual oleh perbankan. Sesuai hukum ekonomi, terlalu banyak rumah yang
ditawarkan (melampau kebutuhan), maka anjloklah harga jualnya. Orang-orang kaya
di AS pun tidak tergiur dengan harga rumah yang rendah karena mereka tidak
yakin akan kenaikan harga rumah di kemudian hari. Keadaan itu membuat bank-bank
di AS mengalami kerugian atau krisis, yang kemudian disebut sebagai sub prime mortgage crisis.
Penurunan harga properti
menurunkan kemampuan bank-bank AS membayar utang mereka pada Lehman Brothers,
salah satu perusahaan pemberi pinjaman terbesar. Efek domino ini disebut
sebagai serial kebangkrutan, dimulai nasabah, bank, dan menjalar ke perusahaan
pemberi pinjaman ke bank. Hantaman krisis yang menyeret aspek-aspek lain
membuat Amerika Serikat tidak berkutik. Para pakar ekonomi meyakini Amerika
Serikat akan segera memasuki masa resesi hebat (pertumbuhan ekonomi minus).
Diyakini pada tahun 2030, Amerika Serikat akan memasuki masa sebagai negara
biasa yang sejajar dengan negara-negara berkembang lainnya, atau bahkan lebih
buruk. Pada masa itu, negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi besar akan
bermunculan dari Eropa dan Asia. Inilah awal masa kelam yang membuat negara
Adidaya tersebut tak berdaya.
Dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment