Musuh paling besar dari
kesuksesan adalah ketika Anda merasakan kemapanan, kenyamanan, keenakan,
ketentraman, ketika Anda menikmati kemalasan, ketika Anda selalu mengatakan “everything is fine”, ketika Anda selalu
menggampangkan keadaan. Dan itulah yang selalu kita alami ketika kita sedang
berada di puncak kesuksesan. Ketika Anda dijangkiti perasaan nyaman, ketika
Anda sudah terbuai di dalam comfort zone,
maka Anda harus siap kesuksesan Anda melayang.
Yang menyebabkan Honda bisa
terkejar oleh Yamaha bukanlah karena produk Honda kalah hebat atau kalah cerdas
dari Yamaha. Yang membuat Nokia terkejar oleh Blackberry dan ponsel local
bukanlah karena Nokia kalah cangih atau kalah inovatif. Tapi karena merek top itu
terjangkiti penyakit mematikan bernama: “Comfort
Zone Trap”.
Dalam buku berjudul “How to Mighty Faill (2009)”, Jim Collins
menemukan bahwa perusahaan-perusahaan hebat yang menuai sukses luar biasa
akhirnya bisa jatuh bukanlah melulu karena salah strategi atau kurang piawai
menjalankan eksekusi. Penyebab awal dan mendasar justru adalah mental dan sikap
manajemen yang mudah puas, nyaman, menggampangkan keadaan, arogan terhadap
kesuksesan yang telah mereka tuai, dan kehilangan sense of crisis.
Jim Collins memberikan gambaran
yang sangat bermanfaat untuk diambil pelajarannya mengenai proses keruntuhan
perusahaan yang telah menuai puncak kesuksesan. Ia mengidentifikasi tanda-tanda
perusahaan yang terperangkap dalam “pusaran keruntuhan” akibat adanya penyakit
“comfort zone trap” ini.
1. Arogan, yaitu ketika perusahan sudah
mulai arogan karena kesuksesan yang telah didapat. Perusahaan juga sudah mulai
kehilangan kepekaan terhadap faktor-faktor
yang melandasi kesuksesan mereka sebelumnya.
2. Tamak, yaitu ketika gejala arogan di
atas mulai muncul maka kemudian kita dihinggapi oleh apa yang disebut “undisciplined pursuit of more” yaitu
ketika kita berpacu terus menuntut sesuatu yang lebih: skala perusahaan yang
makin besar; pertumbuhan yang makin besar; pujian-pujian yang makin tinggi;
atau singkatnya kita menuntut kesuksesan yang makin dan makin besar. Karena
tuntutan ini maka perusahaan biasanya tidak bisa berdisiplin lagi pada apa-apa
yang menjadi fokus kemampuannya. Perusahaan juga tumbuh lebih cepat dari
kapasitas kecepatan yang dimilikinya. Kalau sudah begini perusahaan menjadi
kelebihan beban dan kepayahan karena ambisi yang membabi-buta.
3. Emoh Berisiko, yaitu ketika
sinyal-sinyal adanya kelemahan di dalam perusahaan mulai terlihat, namun
kinerja keseluruhan perusahaan tetap solid. Manajemen menganggap bahwa
sinyal-sinyal kelemahan di dalam organisasi tersebut hanya kerikil-kerikil
tajam yang akan gampang diselesaikan. Dalam fase ini, “leaders discount negative data, amplify positive data, and put a
positive spin on ambiguous data. They start to blame external factors for
setbacks rather than accept responsibility.”
4. Pahlawan Kesiangan, yaitu ketika
tanda-tanda penurunan organisasi kian kasat mata, pertanyaannya kemudian
adalah, bagaimana cara pemimpin organisasi meresponnya? Jawabannya biasanya ada
dua. Pertama adalah kembali ke disiplin strategi yang telah terbukti membawa
organisasi ke tampuk kesuksesan. Kedua, pemimpin berjibaku melakukan
pengorbanan habis-habisan dengan melakukan transformasi radikal, revolusi
budaya perusahaan, akuisisi membabi-buta, meluncurkan produk hebat, dan
sebagainya. Mereka menjadi pahlawan kesiangan. Dalam jangka pendek gebrakan ini
membawa hasil, namun umumnya keberhasilan tersebut tidak bisa dipertahankan
dalam kurun waktu lama.
5. Kehilangan Harapan, yaitu ketika
penurunan pada fase 4 di atas semakin berlarut-larut, maka vitous circle kejatuhan organisasi semakin menemukan momentumnya.
Puncaknya adalah ketika kemunduran tersebut semakin menggerogoti kinerja
keuangan dan menurunkan moral karyawan. Pada titik ini, si pemimpin pun kehilangan harapan akan nasib dan masa
depan perusahaan. Di sinilah kejatuhan organisasi mulai menemukan jalannya.
Oleh: Yuswohady, Pengamat Bisnis dan Pemasaran
Disadur dari berbagai
sumber
No comments:
Post a Comment